Artikel kali tentang sejarah Bandung dan Kabupaten Bandung, lebih tepatnya mengenai asal-usul nama Bandung itu sendiri. Mungkin sebagai orang Bandung pernah perbersit, darimana itu perkataan “Bandung” ? berikut ini adalah asal-muasal bandung yang disampaikan oleh A. Sobana Hardjasaputra yang pada tahun 2000 lalu menulis buku Sejarah Kota-kota Lama di di Jawa Barat. ISBN 979-95652-4-3 Bandung: Alqaprint.
Asal Usul Kata Bandung
M engenai asal-usul nama “Bandung”, dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian mengatakan bahwa, kata ‘Bandung” dalam bahasa Sunda, identik dengan kata “banding” dalam bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabandeng (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan.
Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa kata “Bandung” berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.
Pendapat lain mengatakan, bahwa kata “bandung” mengandung arti besar atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng adalah sebutan untuk genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan.
Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi “Bandung”.
Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa kata “Bandung” berasal dari kata “bendung”.
Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata “Bandung” itu, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa holosen (± 6000 tahun yang lalu).
Akibatnya, daerah antara Padalarang hingga Cicalengka (± 30 kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu hingga Soreang (± 50 kilometer) terendam air menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan “Danau Bandung” atau “Danau Bandung Purba”.

Berdasarkan basil penelitian geologi, air “Danau Bandung” diperkirakan mulai surut pada masa neolitikum (± 8000 – 7000 s.M.). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.
Secara historis, kata atau nama “Bandung” mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri pemerintah
Kabupaten Bandung (sekitar dekade ketiga abad ke-17).
Dengan demikian, sebutan “Danau Bandung” terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung.
Baca juga :
BERDIRINYA KABUPATEN BANDUNG
S ebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan “Tatar Ukur”. Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah daerah Kerajaan Timbanganten’ dengan ibukota di Tegalluar.Kerajaan itu berada di bawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran.
Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur.
Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga“.
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan pasukan Banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran.
Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun (1580- 1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak di sebelah barat kota Sumedang sekarang.
Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Aria Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620.
Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian barat terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten clan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suriadiwangsa rnenjadi “Bupati Wedana” (bupati kepala) di Priangan (1620 – 1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata,terkenal dengan sebutan Rangga Gempol
Tahun 1624 Sultan Agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura).
Oleh karena itu, jabatan “Bupati Wedana” Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol 1, yaitu Pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai bupati wedana, Sumedang diserang oleh pasukan Banten.
Oleh karena sebagian pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, is menerima sanksi politis dari Sultan Agung.
Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan “Bupati Wedana” Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.
Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekuensi dari kegagalan itu is akan mendapat hukuman berat dari raja Mataram, misalnya hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi.

Oleh karena itu-Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa kerajaan Mataram.
Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan.
Secara teoritis, bila daerah sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Namun demikian, berkat bantuan beberapa kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhimya dapat memadamkan “pemberontakan” Dipati Ukur.
https://angipermana.topDipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632′ Setelah”pemberontakan Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya.
Selanjutnya Sultan Agung mengadakan reorganisasi pernerintahan di Priangan, dengan tujuan untuk menstabilisasikan situasi dan kondisi daerah tersebut.
Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu
- Kabupaten Bandung,
- Kabupaten Parakanmuncang, dan
- Kabupaten Sukapura
Dengan cara mengangkat tiga orang kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas “pemberontakan” Dipati Ukur
Ketiga orang kepala dimaksud adalah
- Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti, diangkat menjadi “mantri agung” (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun,
- Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan
- Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha.
Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan “Piagem Sultan Agung”, yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muhararn Tahun Alip11 (penanggalan Jawa).
Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung, tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten ” Parakanmuncang.
Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan.
Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajajaran kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan status administratif yang jelas, yaitu kabupaten.
Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing.
Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumenggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur.
Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah.
Selanjutnya Tumenggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungai Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian selatan) sebagai ibukota kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut “Bumi Ukur Gede” .
Wilayah administratif Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan.
Boleh jadi, daerah Priangan di luar wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura, dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administratif Kabupaten Bandung waktu itu.
Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung, dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang, dan Tanahmedang.
Oleh karena Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten bentukan pemerintah kerajaan (Mataram), dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung pun mewarisi sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis simbol kebesaran, pengawal khusus,
dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut kebesaran itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh bupati atas rakyatnya.
Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dimiliki oleh raja.
Hak-hak dimaksud adalah
- hak mewariskan jabatan,
- hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang,
- hak memperoleh tenaga kerja (ngawula),
- hak berburu dan menangkap ikan, dan
- hak mengadili.
Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu bupati Bandung khususnya dan bupati di Priangan umumnya berkuasa seperti raja. la berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerintahan dan gaga hidup bupati merupakan “miniatur” dari kehidupan keraton.
Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabatpejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa), dan lain-lain.
Bupati Kabupaten Bandung
K abupaten Bandung berada di bawah pengaruh Mataram hingga akhir tahun 1677. Selanjutnya Kabupaten Bandung jatuh ke bawah kekuasaan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677.
Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), bupati Bandung dan bupati lainnya di Priangan, tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.
Sistem pemerintahan kabupaten pada dasamya hampir tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC, dan bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain.
Satu hal yang berubah adalah jabatan “bupati wedana” dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai “pengawas” (opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche Preangerlanden).
Salah satu kewajiban utama bupati terhadap Kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya.
Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu, bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan “Bupati Kompeni” atau penguasa Kompeni di Cirebon .Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakat fltrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni .
Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC (akhir tahun 1779), Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun-temurun oleh enam orang bupati.
Tumenggung Wiraangunangun merupakan bupati pertama (angkatan Mataram) yang memerintah hingga tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni, yaitu
- Tumenggung Ardikusumah (1681-1704),
- Tumenggung Anggadiredja 1 (1704-1747),
- Tumenggung Anggadiredja II (1747-1763),
- R. Anggadiredja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah 1(1763-1794), dan
- R.A. Wiranatakusumah II (1794-1829).
Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke Kota Bandung.
Demikianlah artkel tentang sejarah Bandung dan Kabupaten bandung ini, semoga bermanfaatbagi kita semua. Walaupun pastinya tulisan ini banyak kekurangan, oleh karena itu sahabat angipermana.top dapat menambahkan dan berkomentar tentang sejarah bandung dan kabupaten Bandung